Senin, 08 Agustus 2016

MISTERI NAMA"INDONESIA"


Pernahkah  Kita Menghitung Angka dari

Kata  "INDONESIA" ???

SUBHANALLAH, Akan di dapat Keajaiban 2x yang luar biasa,

Mari, Kita coba Hitung :

Abjad = Urutan Angka

I : 9
N : 14
D : 4
O : 15
N : 14
E : 5
S : 19
I : 9
A : 1

Dari Semua Angka, yang Muncul Hanya

Angka  "1-9-4-5",  Tentu ini Bukan Kebetulan

Ini adalah Kehendak dan Karunia dari ALLAH SUBHANAHU WA TAร€LA.

Nah Coba Kita Jumlahkan semua Angka dari

Kata "INDONESIA", jumlahnya "90",

Dalam AL QURร€N,
Surat ke-90 adalah
Surat Al-Balad,

yang Artinya "NEGERI"

Tentu ini Bukan Suatu
Kebetulan ini semua Karunia yang Luar Biasa dari Allah Subhanahu wa taร la.

Mungkin ini Juga Jawaban pada HADITS ROSULLULAH

yang Mengatakan       Bahwa                                                                                      akan ada Negeri di atas Awan Bernama
Samudra,

yang di-Kelilingi Air dan menghasilkan Banyak Ulama,

Ternyata Negeri itu adalah INDONESIA- Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur-mari Indonesiakan Indonesiaku jangan sia-siakan wujudkan rohmatan lil 'alamiin

Wallahu a'lam Bis Showab

DIRGAHAYU INDONESIA
"MERDEKA"๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

Jumat, 05 Agustus 2016

Fakta Sejarah Bicara


Inilah Fakta Keunggulan Pendidikan Pesantren
Tulisan ini patut dibaca oleh segenap bangsa Indonesia, dan umat Islam di antero dunia. Disarikan dari Ceramah KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Gebang, Purworejo, Jawa Tengah, dan mursyid Thariqah Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Dipublikasikan di berbagai media online, termasuk arrahmah.co.id. Selamat Menyimak. Dan ‪#‎AyoMondok‬
Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti (penjajah) Belanda adalah santri dan tarekat (thariqah). Ada seorang santri yang juga penganut thariqah, namanya Abdul Hamid. Ia lahir di Dusun Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan Besari. Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro. Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta. Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.
Di daerah eks-Karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen), nama KH. Nur Muhammad yang masyhur ada dua, yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang-alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan kyai di Purworejo.
Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M. Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamengkubuwono ke-III dari istri Pacitan, Jawa Timur. Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang. Menjadi nama Kodam dan Universitas di Jawa Tengah. Terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.
Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri. Nama aslinya Abdul Hamid. Nama populernya Diponegoro. Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji (KH) Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.
Maka jika Anda pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, istilah sekarang di Bakorwil, ada 3 peningalan Diponegoro: al-Quran, tasbeh dan Taqrib (kitab Fath al-Qarib). Kenapa al-Quran? Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro seorang ahli dzikir, dan bahkan penganut thariqah. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah. 
Selanjutnya yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren bermadzhab Syafi'i. Jadi Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka, karena bermadhab Syafi’i, Diponegoro shalat Tarawih 20 rakaat, shalat Shubuh memakai doa Qunut, Jum’atan adzan dua kali, termasuk shalat Ied-nya di Masjid, bukan di Tegalan (lapangan). Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab dan pendapat. Akan tetapi, tolong, sejarah sampaikan apa adanya. Jangan ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka tiga tinggalan Pangeran Diponegoro ini tercermin dalam pondok-pondok pesantren.
Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Siapa itu Douwes Dekker? Danudirja Setiabudi. Mereka yang belajar sejarah, semuanya kenal. (Leluhur) Douwes Dekker itu seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa kita. Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset-nya berubah, yang semula ingin merusak kita justeru bergabung dengan pergerakan bangsa kita. Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri.
Douwes Dekker pernah berkata dalam bukunya: “Kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.” Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren. Seumpanya yang berbicara saya, pasti ada yang berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku." Tapi kalau yang berbicara orang “luar”, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka, kembalilah ke pesantren.
Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu adalah santri. Tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para ulama menjadi tokoh bangsa. Diantaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainudin di Kalasan Prambanan. Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat. Suwardi Suryaningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. 
Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang kyai. Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji al-Quran tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan hanya Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Itu sudah baik, namun belum komplit. Belum utuh. Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantara selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran al-Quran al-Karim.
Sayyid Husein al-Mutahhar adalah cucu nabi yang patriotis. Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga Kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur. Sang Sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan Habib Husein al-Mutahar yang menciptakan lagu Syukur. Beliau adalah Pakdenya Habib Umar Muthahar SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang kita semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw. Mari kita nyanyikan bersama-sama:
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadiratMu Tuhan.
(Syair) Itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga Kauman Semarang. Akhirnya oleh pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga. Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik. Di Vatikan, Habib Husein tidak larut dengan kondisi, malah justeru membangun masjid. Hebat.
Malah-malah, Habib Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua. Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat Dzuhur. Sampai pada kalimat hayya 'alasshalรขh, terngiang suara adzan. Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga terngiang. Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, “A”nya, “H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah:
17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirndya Bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tertap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia Membela Negara kita.
Maka peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa. Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren. Malahan, Bung Karno, ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra kyai. Tampillah putra seorang kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. 
Siapa beliau? H. Mohammad Hatta putra seorang kyai. Bung Hatta adalah putra Ustadz Kiai Haji Jamil, Guru Thariqah Naqsyabandiyyah Kholidiyyah. Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra kyai dan putra penganut thariqah tidak pernah dijelaskan di sekolah, yang diterangkan hanya Bapak Koperasi. Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan sekali-kali memotong sejarah. Jika Anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah Anda akan dipotong oleh Allah Swt. Akhirnya, Bung Hatta menjiadi wakil presiden pertama.
Pesan Penting Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly. Maka, jangan berkecil hati mengirim putra-putri Anda di pondok-pesantren. Santri-santri An-Nawawi di tempat saya, saya nasehati begini: “Kamu mondok di sini nggak usah berpikir macam-macam, yang penting ngaji dan sekolah. Tak usah berpikir  besok jadi apa, yang akan menjadikan Gusti Allah."
Ketika saya dulu nyantri di Lirboyo, tak berpikir mau jadi apa, yang penting ngaji, nderes (baca al-Quran), menghafalkan nadzaman kitab dan shalat jamaah. Ternyata saya juga jadi manusia, malahan bisa melenggang ke gedung MPR di Senayan. Tidak usah dipikir, yang menjadikan Gusti Allah. Tugas kita ialah melaksanakan kewajiban dari Allah Swt. Allah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu, kita menuntut ilmu.
Jika kewajiban dari Allah sudah dilaksanakan, maka Allah yang akan menata. Jika Allah yang menata sudah pasti sip, begitu saja. Jika yang menata kita, belum tentu sip. Perlu putra-putri Anda dalam menuntuty ilmu, berpisah dengan orangtua. KH. Mahrus Aly Lirboyo pernah dawuh: “Nek ngaji kok nempel wongtuo, ora temu-temuo.” (Jika mengaji masih bersama dengan orangtua, tidak akan cepat dewasa).
Maka masukkanlah ke pesantren, biar cepat dewasa pikirannya. Itu yang ngendiko (berkata) Kyai Mahrus Ali.

Selasa, 02 Agustus 2016

Islam itu Indah


Benarkah Muslim itu harus keras terhadap orang kafir?
Surat al-Fath berjumlah 29 ayat yang semuanya turun dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, memahami ayat terakhir dalam surat ini juga tidak bisa sepotong-sepotong, karena kita harus memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya, plus pemahaman utuh tentang perjanjian hudaibiyah. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani yang harus berpanjang lebar menceritakan persitiwa hudaibiyah sebelum menjelaskan potongan ayat 29 di bawah ini:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”

Kesalahpahaman akibat kegagalan memahami pesan utuh ayat ini sering terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita saksikan sebagian saudara kita yang pasang wajah kusam dan angker kepada non-Muslim atau juga kepada sesama Muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan tak ada ramah tamah. Mereka bahkan menyalahartikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang kafir karena kata “keras” dipahami sebagai permusuhan.

Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang kafir dan menoleransi keburukan orang Islam karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang kafir dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja.

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas. Ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah dan sahabat kembali ke Madinah lewat sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut amat sangat merugikan umat Islam.

Sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal surat al-Fath. Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathu Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: ‘jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, dan sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir bukan pada sesama kalian!”.

Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 surat al-Fath yang sedang kita bahas ini khusus untuk para sahabat yang menyaksikan persitiwa Hudaibiyah. Sahabat Nabi yang terkenal cerdas luar biasa ini menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah, tidak seperti kesaksian Suhail bin Amr (yang memaksa Rasul untuk menghapus kalimat Muhammad Rasulullah dalam naskah perjanjian Hudaibiyah dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah saja); dan orang yang bersama Muhammad, yaitu Abu Bakar, ia termasuk orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad; keras terhadap orang kafir (maksudnya ini merujuk kepada Umar bin Khattab sebagai pembela Rasulullah), berkasih sayang sesama mereka (ini ditujukan kepada Utsman bin Affan). Lanjutan ayatnya: Kamu lihat mereka ruku' dan sujud (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib);  mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya (ini menyifatkan Thalhah dan Zubair).

Al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahrul Ulum memberi penafsiran yang mirip dengan Tafsir Ibn Abbas di atas. Yang dimaksud bersama Nabi itu adalah Abu Bakar, yang keras itu Umar, yang berkasih sayang itu menyifatkan Utsman dan yang rajin ruku’ dan sujud itu Ali, sementara yang mencari karunia Allah dan keridhaannya itu adalah Zubair dan Abdurrahman bin Awf.

Penafsiran model Ibn Abbas di atas juga dikonfirmasi oleh Imam al-Alusi. Meski demikian beliau juga menyebutkan bahwa jumhur ulama menganggap penyifatan ini tidak hanya khusus untuk pihak tertentu yang menyaksikan peristiwa hudaibiyah tapi merupakan sifat semua sahabat Nabi. Kalaupun kita terima pendapat jumhur ini, namun ini tidak berarti bahwa saat ini kita dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang kafir, karena semua ahli tafsir sepakat asabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.

Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 mengatur relasi dengan pihak kafir:

“Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non Muslim. Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah. Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.

Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lembah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.

Wa ma yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (tidaklah Ia bicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan apa-apa yang diwahyukan kepadanya) QS 53:3-4

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Ps.
Saya cantumkan teks asli dari ketiga kitab tafsir yang saya jadikan rujukan

Tafsir al-Alusi Ruhul Ma’ani:
ูˆู‚ุฑุฃ ุงู„ุญุณู† «ุฃุดุฏّุงุก» . «ุฑุญู…ุงุก» ุจู†ุตุจู‡ู…ุง ูู‚ูŠู„ ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุฏุญ ูˆู‚ูŠู„ ุนู„ู‰ ุงู„ุญุงู„، ูˆุงู„ุนุงู…ู„ ููŠู‡ู…ุง ุงู„ุนุงู…ู„ ููŠ ู…َุนَู‡ُ ููŠูƒูˆู† ุงู„ุฎุจุฑ ุนู„ู‰ ู‡ุฐุง ุงู„ูˆุฌู‡ ุฌู…ู„ุฉ ุชَุฑุงู‡ُู…ْ ุงู„ุขุชูŠ ูˆูƒุฐุง ุฎุจุฑ ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุนู„ู‰ ุงู„ูˆุฌู‡ ุงู„ุฃูˆู„، ูˆุงู„ู…ุฑุงุฏ ุจุงู„ุฐูŠู† ู…ุนู‡ ุนู†ุฏ ุงุจู† ุนุจุงุณ ู…ู† ุดู‡ุฏ ุงู„ุญุฏูŠุจูŠุฉ، ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุฌู…ู‡ูˆุฑ: ุฌู…ูŠุน ุฃุตุญุงุจู‡ ุตู„ّู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ّู… ูˆุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู†ู‡ู…،

Tafsir Ibn Abbas:
{ู…ُّุญَู…َّุฏٌ ุฑَّุณُูˆู„ُ ุงู„ู„ู‡} ู…ู† ุบูŠุฑ ุดَู‡َุงุฏَุฉ ุณُู‡َูŠْู„ ุจู† ุนَู…ْุฑูˆ {ูˆَุงู„َّุฐูŠู† ู…َุนَู‡ُ} ูŠَุนْู†ِูŠ ุฃَุจَุง ุจูƒุฑ ุฃูˆู„ ู…ู† ุขู…ู† ุจِู‡ِ ูˆَู‚َุงู…َ ู…َุนَู‡ ูŠَุฏْุนُูˆ ุงู„ْูƒูَّุงุฑ ุฅِู„َู‰ ุฏูŠู† ุงู„ู„ู‡ {ุฃَุดِุฏَّุขุกُ ุนَู„َู‰ ุงู„ْูƒูَّุงุฑ} ุจุงู„ุบู„ุธุฉ ูˆَู‡ُูˆَ ุนู…ุฑ ูƒَุงู†َ ุดَุฏِูŠุฏุง ุนู„ู‰ ุฃَุนุฏَุงุก ุงู„ู„ู‡ ู‚َูˆِูŠุง ูِูŠ ุฏูŠู† ุงู„ู„ู‡ ู†ุงุตุฑุงً ู„ุฑَุณُูˆู„ ุงู„ู„ู‡ {ุฑُุญَู…َุขุกُ ุจَูŠْู†َู‡ُู…ْ} ู…ุชูˆุงุฏูˆู† ูِูŠู…َุง ุจَูŠู†ู‡ู… ุจุงุฑูˆู† ูˆَู‡ُูˆَ ุนُุซْู…َุงู† ุจู† ุนَูَّุงู† ูƒَุงู†َ ุจุงุฑุงً ุนู„ู‰ ุงู„ْู…ُุณู„ู…ูŠู† ุจِุงู„ู†َّูَู‚َุฉِ ุนَู„َูŠْู‡ِู… ุฑุญِูŠู…ุง ุจู‡ู… {ุชَุฑَุงู‡ُู…ْ ุฑُูƒَّุนุงً} ูِูŠ ุงู„ุตَّู„َุงุฉ {ุณُุฌَّุฏุงً} ูِูŠู‡َุง ูˆَู‡ُูˆَ ุนَู„ูŠّ ุจู† ุฃุจูŠ ุทَุงู„ุจ ูƒุฑู… ุงู„ู„ู‡ ูˆَุฌู‡ู‡ ูƒَุงู†َ ูƒุซูŠุฑ ุงู„ุฑُّูƒُูˆุน ูˆَุงู„ุณُّุฌُูˆุฏ {ูŠَุจْุชَุบُูˆู†َ} ูŠุทْู„ุจُูˆู†َ {ูَุถْู„ุงً} ุซَูˆุงุจًุง {ู…ِّู†َ ุงู„ู„ู‡ ูˆَุฑِุถْูˆَุงู†ุงً} ู…ุฑุถุงุฉ ุฑَุจู‡ู… ุจِุงู„ْุฌِู‡َุงุฏِ ูˆู‡ู… ุทَู„ْุญَุฉ ูˆَุงู„ุฒُّุจَูŠْุฑ ูƒَุงู†َุง ุบู„ูŠุธูŠู† ุนู„ู‰ ุฃَุนุฏَุงุก ุงู„ู„ู‡ ุดุฏูŠุฏูŠู† ุนَู„َูŠْู‡ِู… {ุณِูŠู…َุงู‡ُู…ْ ูِูŠ ูˆُุฌُูˆู‡ِู‡ِู…ْ} ุนَู„ุงู…َุฉ ุงู„ุณู‡ุฑ ูِูŠ ูˆُุฌُูˆู‡ู‡ู… {ู…ِّู†ْ ุฃَุซَุฑِ ุงู„ุณُّุฌُูˆุฏ} ู…ู† ูƒَุซْุฑَุฉ ุงู„ุณُّุฌُูˆุฏ ุจِุงู„ู„َّูŠْู„ِ ูˆู‡ู… ุณู„ู…َุงู† ูˆุจู„ุงู„ ูˆุตู‡ูŠุจ ูˆุฃุตุญุงุจู‡ู…

Tafsir Bahrul Ulum al-Samarqandi:
ู‚ุงู„ ุนุฒ ูˆุฌู„: ู…ُุญَู…َّุฏٌ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَุงู„َّุฐِูŠู†َ ู…َุนَู‡ُ ู…ู† ุงู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ุฃَุดِุฏَّุงุกُ ุนَู„َู‰ ุงู„ْูƒُูَّุงุฑِ ุจุงู„ุบู„ุธุฉ ุฑُุญَู…ุงุกُ ุจَูŠْู†َู‡ُู…ْ ูŠุนู†ูŠ: ู…ุชูˆุงุฏّูŠู† ููŠู…ุง ุจูŠู†ู‡ู… ุชَุฑุงู‡ُู…ْ ุฑُูƒَّุนุงً ุณُุฌَّุฏุงً ูŠุนู†ูŠ: ูŠูƒุซุฑูˆู† ุงู„ุตู„ุงุฉ ูŠَุจْุชَุบُูˆู†َ ูَุถْู„ًุง ู…ِู†َ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَุฑِุถْูˆุงู†ุงً ูŠุนู†ูŠ: ูŠู„ุชู…ุณูˆู† ู…ู† ุงู„ุญู„ุงู„. ูˆู‚ุงู„ ุจุนุถู‡ู…: ูˆَุงู„َّุฐِูŠู†َ ู…َุนَู‡ُ ูŠุนู†ูŠ: ุฃุจุง ุจูƒุฑ ุฃَุดِุฏَّุงุกُ ุนَู„َู‰ ุงู„ْูƒُูَّุงุฑِ ูŠุนู†ูŠ: ุนู…ุฑ ุฑُุญَู…ุงุกُ ุจَูŠْู†َู‡ُู…ْ ูŠุนู†ูŠ: ุนุซู…ุงู† ุชَุฑุงู‡ُู…ْ ุฑُูƒَّุนุงً ุณُุฌَّุฏุงً ูŠุนู†ูŠ: ุนู„ูŠّุงً ุฑุถูˆุงู† ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ู… ุฃุฌู…ุนูŠู† ูŠَุจْุชَุบُูˆู†َ ูَุถْู„ًุง ู…ِู†َ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَุฑِุถْูˆุงู†ุงً ูŠุนู†ูŠ: ุงู„ุฒุจูŠุฑ، ูˆุนุจุฏ ุงู„ุฑุญู…ู† ุจู† ุนูˆู